Supervisi Untuk Penilaian
Profesioanal Guru
Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja
dirancangkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan bertujuan
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu usaha untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui proses pembelajaran di
sekolah.
Dalam usaha meningkatkan kualitas
sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia yang harus
dibina dan dikembangkan terus-menerus. Pembentukan profesi guru dilaksanakan
melalui program pendidikan pra-jabatan maupun program dalam jabatan. Tidak
semua guru yang dididik di lembaga pendidikan terlatih dengan baik dan
kualified. Potensi sumber daya guru itu perlu terus bertumbuh dan berkembang
agar dapat melakukan fungsinya secara potensial. Selain itu pengaruh perubahan
yang serba cepat mendorong guru-guru untuk terus-menerus belajar menyesuaikan
diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mobilitas
masyarakat.
Masyarakat mempercayai, mengakui dan
menyerahkan kepada guru untuk mendidik tunas-tunas muda dan membantu
mengembangkan potensinya secara professional. Kepercayaan, keyakinan, dan
penerimaan ini merupakan substansi dari pengakuan masyarakat terhadap profesi
guru. Implikasi dari pengakuan tersebut mensyaratkan guru harus memiliki kualitas
yang memadai. Tidak hanya pada tataran normatif saja namun mampu mengembangkan
kompetensi yang dimiliki, baik kompetensi personal, professional, maupun
kemasyarakatan dalam selubung aktualisasi kebijakan pendidikan.
Hal tersebut lantaran guru merupakan
penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional
dan eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai
dari aspek “guru” dan tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas
keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang
professional.
A. Pengertian Supervisi
Konsep supervisi modern dirumuskan
oleh Kimball Wiles (1967) sebagai berikut : “Supervision is assistance in
the devolepment of a better teaching learning situation”. Supervisi adalah
bantuan dalam pengembangan situasi pembelajaran yang lebih baik. Rumusan
ini mengisyaratkan bahwa layanan supervisi meliputi keseluruhan situasi belajar
mengajar (goal, material, technique, method, teacher, student, an envirovment).
Situasi belajar inilah yang seharusnya diperbaiki dan ditingkatkan melalui
layanan kegiatan supervisi. Dengan demikian layanan supervisi tersebut mencakup
seluruh aspek dari penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran.
Konsep supervisi tidak bisa
disamakan dengan inspeksi, inspeksi lebih menekankan kepada kekuasaan dan
bersifat otoriter, sedangkan supervisi lebih menekankan kepada persahabatan
yang dilandasi oleh pemberian pelayanan dan kerjasama yang lebih baik diantara
guru-guru, karena bersifat demokratis. Istilah supervisi pendidikan dapat
dijelaskan baik menurut asal usul (etimologi), bentuk perkataannya (morfologi),
maupun isi yang terkandung dalam perkataan itu ( semantik).
1) Etimologi
Istilah supervisi diambil dalam
perkataan bahasa Inggris “ Supervision” artinya pengawasan di bidang
pendidikan. Orang yang melakukan supervisi disebut supervisor.
2) Morfologis
Supervisi dapat dijelaskan menurut
bentuk perkataannya. Supervisi terdiri dari dua kata.Super berarti
atas, lebih. Visi berarti lihat, tilik, awasi. Seorang supervisor
memang mempunyai posisi diatas atau mempunyai kedudukan yang lebih dari orang
yang disupervisinya.
3) Semantik
Pada hakekatnya isi yang terandung dalam
definisi yang rumusanya tentang sesuatu tergantung dari orang yang mendefinisikan.
Wiles secara singkat telah merumuskan bahwa supervisi sebagai bantuan
pengembangan situasi mengajar belajar agar lebih baik. Adam dan Dickey
merumuskan supervisi sebagai pelayanan khususnya menyangkut perbaikan proses
belajar mengajar. Sedangkan Depdiknas (1994) merumuskan supervisi sebagai
berikut : “ Pembinaan yang diberikan kepada seluruh staf sekolah agar mereka
dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang
lebih baik “. Dengan demikian, supervisi ditujukan kepada penciptaan atau
pengembangan situasi belajar mengajar yang lebih baik. Untuk itu ada dua hal
(aspek) yang perlu diperhatikan :
a. Pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar
b. Hal-hal yang menunjang
kegiatan belajar mengajar
Karena aspek utama adalah guru, maka
layanan dan aktivitas kesupervisian harus lebih diarahkan kepada upaya
memperbaiki dan meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola kegiatan belajar
mengajar. Untuk itu guru harus memiliki yakni : 1) kemampuan personal, 2)
kemampuan profesional 3) kemampuan sosial (Depdiknas, 1982).
Atas dasar uraian diatas, maka
pengertian supervisi dapat dirumuskan sebagai berikut “ serangkaian usaha
pemberian bantuan kepada guru dalam bentuk layanan profesional yang diberikan
oleh supervisor ( Pengawas sekolah, kepala sekolah, dan pembina lainnya) guna
meningkatkan mutu proses dan hasil belajar mengajar. Karena supervisi atau
pembinaan guru tersebut lebih menekankan pada pembinaan guru tersebut pula
“Pembinaan profesional guru“ yakni pembinaan yang lebih diarahkan pada upaya
memperbaiki dan meningkatkan kemampuan profesional guru.
Supervisi dapat kita artikan sebagai
pembinaan. Sedangkan sasaran pembinaan tersebut bisa untuk kepala sekolah,
guru, pegawai tata usaha. Namun yang menjadi sasaran supervisi diartikan pula
pembinaan guru.
A. Pentingnya Pengembangan Sumber Daya
Guru dengan Supervisi
Di abad sekarang ini, yaitu era globalisasi dimana
semuanya serba digital, akses informasi sangat cepat dan persaingan hidup
semakin ketat, semua bangsa berusaha untuk meningkatkan sumber daya manusia.
Hanya manusia yang mempunyai sumber daya unggul dapat bersaing dan
mempertahankan diri dari dampak persaingan global yang ketat. Termasuk sumber
daya pendidikan. Yang termasuk dalam sumber daya pendidikan yaitu ketenagaan,
dana dan sarana dan prasarana.
Guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui
kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya
meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek “guru” dan tenaga kependidikan
lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam
satu manajemen pendidikan yang professional.
Ada dua metafora untuk menggambarkan
pentingnya pengembangan sumber daya guru. Pertama, jabatan guru
diumpamakan dengan sumber air. Sumber air itu harus terus menerus bertambah,
agar sungai itu dapat mengalirkan air terus-menerus. Bila tidak, maka sumber
air itu akan kering. Demikianlah bila seorang guru tidak pernah membaca
informasi yang baru, tidak menambah ilmu pengetahuan tentang apa yang
diajarkan, maka ia tidak mungkin memberi ilmu dan pengetahuan dengan cara yang
lebih menyegarkan kepada peserta didik.
Kedua, jabatan guru diumpamakan dengan
sebatang pohon buah-buahan. Pohon itu tidak akan berbuah lebat, bila akar induk
pohon tidak menyerap zat-zat makanan yang berguna bagi pertumbuhan pohon itu.
Begitu juga dengan jabatan guru yang perlu bertumbuh dan berkembang. Baik itu
pertumbuhan pribadi guru maupun pertumbuhan profesi guru. Setiap guru perlu
menyadari bahwa pertumbuhan dan pengembangan profesi merupakan suatu keharusan
untuk menghasilkan output pendidikan berkualitas. Itulah sebabnya guru perlu
belajar terus menerus, membaca informasi terbaru dan mengembangkan ide-ide
kreatif dalam pembelajaran agar suasana belajar mengajar menggairahkan dan
menyenangkan baik bagi guru apalagi bagi peserta didik.
Peningkatan sumber daya guru bisa
dilaksanakan dengan bantuan supervisor, yaitu orang ataupun instansi yang
melaksanakan kegiatan supervisi terhadap guru. Perlunya bantuan supervisi
terhadap guru berakar mendalam dalam kehidupan masyarakat. Swearingen
mengungkapkan latar belakang perlunya supervisi berakar mendalam dalam
kebutuhan masyarakat dengan latar belakang sebagai berikut :
1.
Latar Belakang Kultural
Pendidikan
berakar dari budaya arif lokal setempat. Sejak dini pengalaman belajar dan
kegiatan belajar-mengajar harus daingkat dari isi kebudayaan yang hidup di
masyarakat itu. Sekolah bertugas untuk mengkoordinasi semua usaha dalam rangka
mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
2.
Latar Belakang Filosofis
Suatu system pendidikan yang
berhasil guna dan berdaya guna bila ia berakar mendalam pada nilai-nilai
filosofis pandangan hidup suatu bangsa.
3.
Latar Belakang Psikologis
Secara psikologis supervisi itu
berakar mendalam pada pengalaman manusia. Tugas supervisi ialah menciptakan
suasana sekolah yang penuh kehangatan sehingga setiap orang dapat menjadi
dirinya sendiri.
4.
Latar Belakang Sosial
Seorang supervisor dalam melakukan
tanggung jawabnya harus mampu mengembangkan potensi kreativitas dari orang yang
dibina melalui cara mengikutsertakan orang lain untuk berpartisipasi bersama.
Supervisi harus bersumber pada kondisi masyarakat.
5.
Latar Belakang Sosiologis
Secara sosiologis perubahan
masyarakat punya dampak terhadap tata nilai. Supervisor bertugas menukar ide
dan pengalaman tentang mensikapi perubahan tata nilai dalam masyarakat secara
arif dan bijaksana.
6.
Latar Belakang Pertumbuhan Jabatan
Supervisi bertugas memelihara, merawat
dan menstimulasi pertumbuhan jabatan guru. Diharapkan guru menjadi semakin
professional dalam mengemban amanat jabatannya dan dapat meningkatkan posisi
tawar guru di masyarakat dan pemerintah, bahwa guru punya peranan utama dalam
pembentukan harkat dan martabat manusia.
Permasalahan
yang dihadapi dalam melaksanakan supervisi di lingkungan pendidikan dasar
adalah bagaimana cara mengubah pola pikir yang bersifat otokrat dan korektif
menjadi sikap yang konstruktif dan kreatif, yaitu sikap yang menciptakan
situasi dan relasi di mana guru-guru merasa aman dan diterima sebagai subjek
yang dapat berkembang sendiri. Untuk itu, supervisi harus dilaksanakan
berdasarkan data, fakta yang objektif (Sahertian, 2000:20).
Supandi
(1986:252), menyatakan bahwa ada dua hal yang mendasari pentingnya supervisi
dalam proses pendidikan.
1.
Perkembangan kurikulum merupakan gejala kemajuan pendidikan. Perkembangan
tersebut sering menimbulkan perubahan struktur maupun fungsi kurikulum.
Pelaksanaan kurikulum tersebut memerlukan penyesuaian yang terus-menerus dengan
keadaan nyata di lapangan. Hal ini berarti bahwa guru-guru senantiasa harus
berusaha mengembangkan kreativitasnya agar daya upaya pendidikan berdasarkan
kurikulum dapat terlaksana secara baik. Namun demikian, upaya tersebut tidak
selamanya berjalan mulus. Banyak hal sering menghambat, yaitu tidak lengkapnya
informasi yang diterima, keadaan sekolah yang tidak sesuai dengan tuntutan
kurikulum, masyarakat yang tidak mau membantu, keterampilan menerapkan metode
yang masih harus ditingkatkan dan bahkan proses memecahkan masalah belum
terkuasai. Dengan demikian, guru dan Kepala Sekolah yang melaksanakan kebijakan
pendidikan di tingkat paling mendasar memerlukan bantuan-bantuan khusus dalam
memenuhi tuntutan pengembangan pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum.
2.
Pengembangan personel, pegawai atau karyawan senantiasa merupakan upaya yang
terus-menerus dalam suatu organisasi. Pengembangan personal dapat dilaksanakan
secara formal dan informal. Pengembangan formal menjadi tanggung jawab lembaga
yang bersangkutan melalui penataran, tugas belajar, loka karya dan sejenisnya.
Sedangkan pengembangan informal merupakan tanggung jawab pegawai sendiri dan
dilaksanakan secara mandiri atau bersama dengan rekan kerjanya, melalui
berbagai kegiatan seperti kegiatan ilmiah, percobaan suatu metode mengajar, dan
lain sebagainya.
Kegiatan
supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam
penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi dilaksanakan oleh
kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan pembinaan kepada guru. Hal
tersebut karena proses belajar-mengajar yang dilaksakan guru merupakan inti
dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan
utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung
serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang
berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena
kegiatan supervisi dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses
pembelajaran.
Secara
umum ada 2 (dua) kegiatan yang termasuk dalam kategori supevisi pengajaran,
yakni:
1.
Supervsi yang dilakukan oleh Kepala Sekolah kepada guru-guru.
Secara rutin dan terjadwal Kepala
Sekolah melaksanakan kegiatan supervisi kepada guru-guru dengan harapan agar
guru mampu memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan. Dalam prosesnya,
kepala sekolah memantau secara langsung ketika guru sedang mengajar. Guru
mendesain kegiatan pembelajaran dalam bentuk rencana pembelajaran kemudian
kepala sekolah mengamati proses pembelajaran yang dilakukan guru. Saat kegiatan
supervisi berlangsung, kepala sekolah menggunakan leembar observasi yang sudah
dibakukan, yakni Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). APKG terdiri atas APKG 1
(untuk menilai Rencana Pembelajaran yang dibuat guru) dan APKG 2 (untuk menilai
pelaksanaan proses pembelajaran) yang dilakukan guru.
2.
Supervisi yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah kepada Kepala Sekolah dan
guru-guru untuk meningkatkan kinerja.
Kegiatan supervisi ini dilakukan
oleh Pengawas Sekolah yang bertugas di suatu Gugus Sekolah. Gugus Sekolah
adalah gabungan dari beberapa sekolah terdekat, biasanya terdiri atas 5-8
Sekolah Dasar. Hal-hal yang diamati pengawas sekolah ketika melakukan kegiatan
supervisi untuk memantau kinerja kepala sekolah, di antaranya administrasi
sekolah, meliputi:
a.
Bidang Akademik, mencakup kegiatan:
1)
menyusun program tahunan dan semester,
2)
mengatur jadwal pelajaran,
3)
mengatur pelaksanaan penyusunan model satuan pembelajaran,
4)
menentukan norma kenaikan kelas,
5)
menentukan norma penilaian,
6)
mengatur pelaksanaan evaluasi belajar,
7)
meningkatkan perbaikan mengajar,
9)
mengatur disiplin dan tata tertib kelas.
b.
Bidang Kesiswaan, mencakup kegiatan:
1)
mengatur pelaksanaan penerimaan siswa baru berdasarkan peraturan penerimaan
siswa baru,
2)
mengelola layanan bimbingan dan konseling,
3)
mencatat kehadiran dan ketidakhadiran siswa, dan
4)
mengatur dan mengelola kegiatan ekstrakurikuler.
c.
Bidang Personalia, mencakup kegiatan:
1)
mengatur pembagian tugas guru,
2)
mengajukan kenaikan pangkat, gaji, dan mutasi guru,
3)
mengatur program kesejahteraan guru,
4)
mencatat kehadiran dan ketidakhadiran guru, dan
5)
mencatat masalah atau keluhan-keluhan guru.
d.
Bidang Keuangan, mencakup kegiatan:
1)
menyiapkan rencana anggaran dan belanja sekolah,
2)
mencari sumber dana untuk kegiatan sekolah,
3)
mengalokasikan dana untuk kegiatan sekolah, dan
4)
mempertanggungjawabkan keuangan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
e.
Bidang Sarana dan Prasarana, mencakup kegiatan:
1)
penyediaan dan seleksi buku pegangan guru,
2)
layanan perpustakaan dan laboratorium,
3)
penggunaan alat peraga,
4)
kebersihan dan keindahan lingkungan sekolah,
5)
keindahan dan kebersihan kelas, dan
6)
perbaikan kelengkapan kelas.
f.
Bidang Hubungan Masyarakat, mencakup kegiatan:
1)
kerjasama sekolah dengan orangtua siswa,
2)
kerjasama sekolah dengan Komite Sekolah,
3)
kerjasama sekolah dengan lembaga-lembaga terkait, dan
4)
kerjasama sekolah dengan masyarakat sekitar (Depdiknas 1997).
Sedangkan
ketika mensupervisi guru, hal-hal yang dipantau pengawas juga terkait dengan
administrasi pembelajaran yang harus dikerjakan guru, diantaranya :
a.
Penggunaan program semester
b.
Penggunaan rencana pembelajaran
c.
Penyusunan rencana harian
d.
Program dan pelaksanaan evaluasi
e.
Kumpulan soal
f.
Buku pekerjaan siswa
g.
Buku daftar nilai
h.
Buku analisis hasil evaluasi
i.
Buku program perbaikan dan pengayaan
j.
Buku program Bimbingan dan Konseling
k.
Buku pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler
- Profesionalisme Guru
Profesionalisme
menjadi tuntutan dari setiap pekerjaan. Apalagi profesi guru yang sehari-hari
menangani benda hidup yang berupa anak-anak atau siswa dengan berbagai
karakteristik yang masing-masing tidak sama. Pekerjaaan sebagai guru menjadi
lebih berat tatkala menyangkut peningkatan kemampuan anak didiknya, sedangkan
kemampuan dirinya mengalami stagnasi.
Guru yang profesional adalah mereka yang memiliki kemampuan
profesional dengan berbagai kapasitasnya sebagai pendidik. Studi yang dilakukan
oleh Ace Suryani menunjukkan bahwa Guru yang bermutu dapat diukur dengan lima
indikator, yaitu: pertama, kemampuan profesional (professional capacity),
sebagaimana terukur dari ijazah, jenjang pendidikan, jabatan dan golongan,
serta pelatihan. Kedua, upaya profesional (professional efforts), sebagaimana
terukur dari kegiatan mengajar, pengabdian dan penelitian. Ketiga, waktu yang
dicurahkan untuk kegiatan profesional (teacher’s time), sebagaimana terukur
dari masa jabatan, pengalaman mengajar serta lainnya. Keempat, kesesuaian
antara keahlian dan pekerjaannya (link and match), sebagaimana terukur dari
mata pelajaran yang diampu, apakah telah sesuai dengan spesialisasinya atau
tidak, serta kelima, tingkat kesejahteraan (prosperiousity) sebagaimana terukur
dari upah, honor atau penghasilan rutinnya. Tingkat kesejahteraan yang rendah
bisa mendorong seorang pendidik untuk melakukan kerja sambilan, dan bilamana
kerja sambilan ini sukses, bisa jadi profesi mengajarnya berubah menjadi
sambilan.
Guru
yang profesional amat berarti bagi pembentukan sekolah unggulan. Guru
profesional memiliki pengalaman mengajar, kapasitas intelektual, moral,
keimanan, ketaqwaan, disiplin, tanggungjawab, wawasan kependidikan yang luas,
kemampuan manajerial, trampil, kreatif, memiliki keterbukaan profesional dalam
memahami potensi, karakteristik dan masalah perkembangan peserta didik, mampu
mengembangkan rencana studi dan karir peserta didik serta memiliki kemampuan
meneliti dan mengembangkan kurikulum.[3]
Dewasa ini banyak guru, dengan berbagai alasan dan latar
belakangnya menjadi sangat sibuk sehingga tidak jarang yang mengingat terhadap
tujuan pendidikan yang menjadi kewajiban dan tugas pokok mereka. Seringkali kesejahteraan yang kurang
atau gaji yang rendah menjadi alasan bagi sebagian guru untuk menyepelekan
tugas utama yaitu mengajar sekaligus mendidik siswa. Guru hanya sebagai
penyampai materi yang berupa fakta-fakta kering yang tidak bermakna karena guru
menang belajar lebih dulu semalam daripada siswanya. Terjadi ketidaksiapan
dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar ketika guru tidak memahami tujuan umum
pendidikan. Bahkan ada yang mempunyai kebiasaan mengajar yang kurang baik yaitu
tiga perempat jam pelajaran untuk basa-basi bukan apersepsi dan seperempat jam
untuk mengajar. Suatu proporsi yang sangat tidak relevan dengan keadaan dan kebutuhan
siswa. Guru menganggap siswa hanya sebagai pendengar setia yang tidak diberi
kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuannya.
Banyak
kegiatan belajar mengajar yang tidak sesuai dengan tujuan umum pendidikan yang
menyangkut kebutuhan siswa dalam belajar, keperluan masyarakat terhadap sekolah
dan mata pelajaran yang dipelajari. Guru memasuki kelas tidak mengetahui tujuan
yang pasti, yang penting demi menggugurkan kewajiban. Idealisme menjadi luntur
ketika yang dihadapi ternyata masih anak-anak dan kalah dalam pengalaman.
Banyak guru enggan meningkatkan kualitas pribadinya dengan kebiasaan membaca
untuk memperluas wawasan. Jarang pula yang secara rutin pergi ke perpustakaan
untuk melihat perkembangan ilmu pengetahuan. Kebiasaan membeli buku menjadi
suatu kebiasaan yang mustahil dilakukan karena guru sudah merasa puas mengajar
dengan menggunakan LKS ( Lembar Kegiatan Siswa ) yang berupa soal serta sedikit
ringkasan materi.
Dapat
dilihat daftar pengunjung di perpustakaan sekolah maupun di perpustakaan umum,
jarang sekali guru memberi contoh untuk mengunjungi perpustakaan secara rutin.
Lebih banyak pengunjung yang berseragam sekolah daripada berseragam PSH. Kita
masih harus “Khusnudhon” bahwa dirumah mereka berlangganan koran harian yang
siap disantap setiap pagi. Tetapi ada juga kekhawatiran bahwa yang lebih banyak
dibaca adalah berita-berita kriminal yang menempati peringkat pertama
pemberitaan di koran maupun televisi. Sedangkan berita-berita mengenai
pendidikan, penemuan-penemuan baru tidak menarik untuk dibaca dan tidak menarik
perhatian. Kebiasaan membaca saja sulit dilakukan apalagi kebiasaan menulis
menjadi lebih mustahil dilakukan. Ini adalah realita dilapangan yang patut
disesalkan.
Sarana
dan prasarana penunjang pelajaran yang kurang memadai, terutama di daerah
terpencil. Tetapi hal ini tidak bisa dijadikan alasan bahwa dengan sarana yang
minimpun dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin agar mendaptkan hasil yang
bagus. Terkadang kita juga harus memakai prisip ekonomi yang ternyata dapat
membawa kemajuan. Yang sering dijumpai adalah sudah ada sarana tetapi tidak
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Peta
dunia hanya dipajang di depan kelas, globe atau bola dunia dibiarkan berkarat
tidak pernah tersentuh, buku-buku pelajaran diperpustakaan dimakan rayap,
alat-alat praktek di laboratorium hanya tersimpan rapi di almari tidak pernah
dipergunakan. Media pengajaran yang sudah ada jangan dibiarkan rusak atau
berkarat gara-gara disimpan. Lebih baik rusak karena digunakan untuk praktek
siswa. Guru dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam pemakaian sarana dan
media yang ada demi peningkatan mutu pendidikan. Sekolah juga tidak harus
bergantung pada bantuan dari pemerintah mengingat kebutuhan masing-masing
sekolah tidaklah sama.
Tingkat
kesejahteraan guru yang kurang mengakibatkan banyak guru yang malas untuk
berprestasi karena disibukkan mencari tambahan kebutuhan hidup yang semakin
berat. Anggaran pendidikan minimal 20 % harus dilaksanakan dan diperjuangkan
unutk ditambah karena pendidikan menyangkut kelangsungan hidup suatu bangsa.
Apabila tingkat kesejahteraan diperhatikan, konsentrasi guru dalam mengajar
akan lebih banyak tercurah untuk siswa.
Penataran
dan pelatihan mutlak diperlukan demi meningkatkan pengetahuan, wawasan dan
kompetensi guru. Kegiatan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi
hasilnya juga akan seimbang jika dilaksanakan secara baik. Jika kegiatan
penataran, pelatihan dan pembekalan tidak dilakukan, guru tidak akan mampu mengembangkan
diri, tidak kreatif dan cenderung apa adanya. Kecenderungan ini ditambah dengan
tidak adanya rangsangan dari pemerintah atau pejabat terkait terhadap profesi
guru. Rangsangan itu dapat berupa penghargaan terhadap guru-guru yang
berprestasi atau guru yang inovatif dalam proses belajar mengajar.
Guru
harus diberi keleluasaan dalam menetapkan dengan tepat apa yang digagas,
dipikirkan, dipertimbangkan, direncanakan dan dilaksanakan dalam pengajaran
sehari-hari, karena di tangan gurulah keberhasilan belajar siswa ditentukan,
tidak oleh Bupati, Gubernur, Walikota, Pengawas, Kepala Sekolah bahkan Presiden
sekalipun.
Mutlak
dilakukan ketika awal menjadi guru adalah memahami tujuan umum pendidikan,
mamahami karakter siswa dengan berbagai perbedaan yang melatar belakanginya.
Sangatlah penting untuk memahami bahwa siswa balajar dalam berbagai cara yang
berbeda, beberapa siswa merespon pelajaran dalam bentuk logis, beberapa lagi
belajar dengan melalui pemecahan masalah (problem solving), beberapa senang belajar
sendiri daripada berkelompok.
Cara
belajar siswa yang berbeda-beda, memerlukan cara pendekatan pembelajaran yang
berbeda. Guru harus mempergunakan berbagai pendekatan agar anak tidak cepat
bosan. Kemampuan guru untuk melakukan berbagai pendekatan dalam belajar perlu
diasah dan ditingkatkan. Jangan cepat merasa puas setelah mengajar, tetapi
lihat hasil yang didapat setelah mengajar. Sudahkah sesuai dengan tujuan umum
pendidikan. Perlu juga dipelajari penjabaran dari kurikulum ang dipergunakan
agar yang diajarkan ketika di kelas tidak melencenga dari GBBP/kurikulum yang
sudah ditentukan.
Guru
juga perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang psikologi pendidikan dalam
menghadapai siswa yang berneka ragam. Karena tugas guru tidak hanya sebagai
pengajar, tetapi sekaligus sebagai pendidik yang akan membentuk jiwa dan
kepribadian siswa. Maju dan mundur sebuah bangsa tergantung pada keberhasilan
guru dalam mendidik siswanya.
Pemerintah
juga harus senantiasa memperhatikan tingkat kesejahteraan guru, karena mutlak
diperlukan kondisi yang sejahtera agar dapat bekerja secara baik dan
meningkatkan profesionalisme. Makin kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru
bukan hanya berlangsung di Indonesia, melainkan di negara-negara maju. Seperti
Amerika Serikat, isu tentang profesionalisme guru ramai dibicarakan pada
pertengahan tyahun 1980-an. Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational
Leadership edisi Maret 1933 menurunkan laporan mengenai tuntutan guru
professional.
Menurut
Jurnal tersebut, untuk menjadi professional, seorang guru dituntut memiliki
lima hal, yakni:
1)
Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa
komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
2)
Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara
mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini meryupakan dua hal yang tidak
dapat dipisahkan.
3)
Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik
evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar.
4)
Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari
pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan
refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar
dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk
dampaknya pada proses belajar siswa.
5)
Guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan
profesinya, misalnya PGRI dan organisasi profesi lainnya (Supriadi, 1999:98).
Dalam
konteks yang aplikatif, kemampuan professional guru dapat diwujudkan dalam
penguasaan sepuluh kompetensi guru, yang meliputi:
1)
Menguasai bahan, meliputi: a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum, b)
menguasai bahan pengayaan/penunjang bidang studi.
2)
Mengelola program belajar-mengajar, meliputi: a) merumuskan tujuan
pembelajaran, b) mengenal dan menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat, c)
melaksanakan program belajar-mengajar, d) mengenal kemampuan anak didik.
3)
Mengelola kelas, meliputi: a) mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran, b)
menciptakan iklim belajar-mengajar yang serasi.
4)
Penggunaan media atau sumber, meliputi: a) mengenal, memilih dan menggunakan
media, b) membuat alat bantu yang sederhana, c) menggunakan perpustakaan dalam
proses belajar-mengajar, d) menggunakan micro teaching untuk unit program
pengenalan lapangan.
5)
Menguasai landasan-landasan pendidikan.
6)
Mengelola interaksi-interaksi belajar-mengajar.
7)
Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran.
9)
Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah.
10)
Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna
keperluan pengajaran (Suryasubrata 1997:4-5).
- Konsep Mutu Pendidikan
Proses
pendidikan yang bermutu ditentukan oleh berbagai unsur dinamis yang akan ada di
dalam sekolah itu dan lingkungannya sebagai suatu kesatuan sistem. Menurut
Townsend dan Butterworth (1992:35) dalam bukunya Your Child’s Scholl, ada
sepuluh faktor penentu terwujudnya proses pendidikan yang bermutu, yakni:
1)
keefektifan kepemimpinan kepala sekolah
2)
partisipasi dan rasa tanggung jawab guru dan staf,
3)
proses belajar-mengajar yang efektif,
4)
pengembangan staf yang terpogram,
5)
kurikulum yang relevan,
6)
memiliki visi dan misi yang jelas,
7)
iklim sekolah yang kondusif,
9)
komunikasi efektif baik internal maupun eksternal, dan
10)
keterlibatan orang tua dan masyarakat secara instrinsik.
Dalam konsep yang lebih luas, mutu
pendidikan mempunyai makna sebagai suatu kadar proses dan hasil pendidikan
secara keseluruhan yang ditetapkan sesuai dengan pendekatan dan kriteria
tertentu (Surya, 2002:12).
Dalam
konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan output
pendidikan (Depdiknas, 2001:5). Input pendidikan adalah segala sesuatu yang
harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Proses pendidikan
merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain dengan mengintegrasikan
input sekolah sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan
(enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan
benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Output pendidikan adalah
merupakan kinerja sekolah yang dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya,
produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, dan moral kerjanya.
Berdasarkan
konsep mutu pendidikan maka dpaat dipahami bahwa pembangunan pendidikan bukan
hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih
memperhatikan faktor proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang
mutlak harus ada dalam batas – batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan
dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are
necessary but not sufficient condition to improve student achievement).
Selama
tahun 2002 dunia pendidikan ditandai dengan berbagai perubahan yang datang
bertubi-tubi, serempak, dan dengan frekuensi yang sangat tinggi. Belum tuntas
sosialisasi perubahan yang satu, datang perubahan yang lain. Beberapa inovasi
yang mendominasi panggung pendidikan selama tahun 2002 antara lain adalah
Pendidikan Berbasis Luas (PBL/BBE) dengan life skills-nya, Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK/CBC), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS/SBM), Ujian Akhir
Nasional (UAN) pengganti EBTANAS, pembentukan dewan sekolah dan dewan
pendidikan kabupaten/kota. Setiap pembaruan tersebut memiliki kisah dan
problematiknya sendiri.
Fenomena
yang menarik adalah perubahan itu umumnya memiliki sifat yang sama, yakni
menggunakan kata berbasis (based). Bila diamati lebih jauh, perubahan yang
“berbasis” itu umumnya dari atas ke bawah: dari pusat ke daerah, dari
pengelolaan di tingkat atas menuju sekolah, dari pemerintah ke masyarakat, dari
sesuatu yang sifatnya nasional menuju yang lokal. Istilah-istilah lain yang
populer dan memiliki nuansa yang sama dengan “berbasis” adalah pemberdayaan
(empowerment), akar rumput (grass-root), dari bawah ke atas (bottom up), dan
sejenisnya. Apa itu artinya?
Simak
saja label-label perubahan yang dewasa ini berseliweran dalam dunia pendidikan nasional
(kadang-kadang dipahami secara beragam): manajemen berbasis sekolah (school
based management), peningkatan mutu berbasis sekolah (school based quality
improvement), kurikulum berbasis kompetensi (competence based curriculum),
pengajaran/pelatihan berbasis kompetensi (competence based teaching/training),
pendidikan berbasis luas (broad based education), pendidikan berbasis
masyarakat (community based education), evaluasi berbasis kelas (classroom
based evaluation), evaluasi berbasis siswa (student based evaluation) dikenal
juga dengan evaluasi portofolio, manajemen pendidikan berbasis lokal (local
based educational management), pembiayaan pendidikan berbasis masyarakat
(community based educational financing), belajar berbasis internet (internet
based learning), kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan entah apa lagi.
Fullan
& Stiegerbauer (1991: 33) dalam “The New Meaning of Educational Change”
mencatat bahwa setiap tahun guru berurusan dengan sekitar 200.000 jenis urusan
dengan karakteristik yang berbeda dan itu merupakan sumber stres bagi mereka.
Mungkin tak aneh bila dilaporkan banyak guru mengalami stres dan jenuh.
Supriadi
(2002:17) mengatakan: “orang yang mendalami teori difusi inovasi akan segera
tahu bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam bidang apa pun, termasuk dalam
pendidikan, memerlukan tahap-tahap yang dirancang dengan benar sejak ide
dikembangkan hingga dilaksanakan”. Sejak awal, berbagai kondisi perlu
diperhitungkan, mulai substansi inovasi itu sendiri sampai kondisi-kondisi lokal
tempat inovasi itu akan diimplementasikan. Intinya, suatu perubahan yang
mendasar, melibatkan banyak pihak, dan dengan skala yang luas akan selalu
memerlukan waktu. Suatu inovasi mestinya jelas kriterianya, terukur dan
realistik dalam sasarannya, dan dirasakan manfaatnya oleh pihak yang
melaksanakannya.
Langkah
percepatan dapat saja dilakukan, tetapi dengan risiko kegagalan yang besar
akibat inovasi itu kurang dihayati secara penuh oleh pelaksananya. Kami menilai
bahwa banyak inovasi pendidikan yang diluncurkan di Indonesia dewasa ini yang
melanggar prinsip-prinsip tersebut, di samping secara konseptual “cacat sejak
lahir”, serba tergesa-gesa, serba instan, targetnya tidak realistik, didasari
asumsi yang linier seakan-akan suatu inovasi akan bergulir mulus begitu
diluncurkan, dan secara implisit dimuati obsesi demi menanamkan “aset politik”
di masa depan.
I.
KESIMPULAN
Kebijakan
pendidikan harus ditopang oleh pelaku pendidikan yang berada di front terdepan
yakni guru melalui interaksinya dalam pendidikan. Upaya meningkatkan mutu
pendidikan perlu dilakukan secara bertahap dengan mengacu pada rencana
strategis. Keterlibatan seluruh komponen pendidikan (guru, Kepala Sekolah,
masyarakat, Komite Sekolah, Dewan Pendidikan, dan isntitusi) dalam perencanaan
dan realisasi program pendidikan yang diluncurkan sangat dibutuhkan dalam
rangka mengefektifkan pencapaian tujuan.
Implementasi
kemampuan professional guru mutlak diperlukan sejalan diberlakukannya otonomi
daerah, khsususnya bidang pendidikan. Kemampuan professional guru akan terwujud
apabila guru memiliki kesadaran dan komitmen yang tinggi dalam mengelola
interaksi belajar-mengajar pada tataran mikro, dan memiliki kontribusi terhadap
upaya peningkatan mutu pendidikan pada tataran makro.
Salah
satu upaya peningkatan profesional guru adalah melalui supervisi pengajaran.
Pelaksanaan supervisi pengajaran perlu dilakukan secara sistematis oleh kepala
sekolah dan pengawas sekolah bertujuan memberikan pembinaan kepada guru-guru
agar dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien. Dalam
pelaksanaannya, baik kepala sekolah dan pengawas menggunakan lembar pengamatan
yang berisi aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam peningkatan kinerja guru
dan kinerja sekolah. Untuk mensupervisi guru digunakan lembar observasi yang
berupa alat penilaian kemampuan guru (APKG), sedangkan untuk mensupervisi
kinerja sekolah dilakukan dengan mencermati bidang akademik, kesiswaan,
personalia, keuangan, sarana dan prasarana, serta hubungan masyarakat.
Implementasi
kemampuan professional guru mensyaratkan guru agar mampu meningkatkan peran
yang dimiliki, baik sebagai informatory(pemberi informasi), organisator,
motivator, director, inisiator (pemrakarsa inisiatif), transmitter (penerus),
fasilitator, mediator, dan evaluator sehingga diharapkan mampu mengembangkan
kompetensinya.
Mewujudkan
kondisi ideal di mana kemampuan professional guru dapat diimplementasikan
sejalan diberlakukannya otonomi daerah, bukan merupakan hal yang mudah. Hal
tersebut lantaran aktualisasi kemampuan guru tergantung pada berbagai komponen
system pendidikan yang saling berkolaborasi. Oleh karena itu, keterkaitan
berbagai komponen pendidikan sangat menentukan implementasi kemampuan guru agar
mampu mengelola pembelajaran yang efektif, selaras dengan paradigma
pembelajaran yang direkomendasiklan Unesco, “belajar mengetahui (learning to
know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to
live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be)”.
No comments:
Post a Comment